Sudomo Pernah Murtad Selama 36 Tahun, Kemudian Bertawaf Di Ka’bah, Yang Terjadi Tak Disangka-Sangka
Sunday, March 26, 2017
Menjalani ibadah menjadi lebih tenang dan juga terjaga kekhusyukannya. Itulah yang dirasakan Laksamana TNI (Purn) Sudomo di hari tuanya.

Di usianya yang ke-75, mantan Pangkopkamtib di era Soeharto justru menemukan ketenangan hidupnya.
”Kalau orang lain berkata hidup dimulai umur 40 tahun, saya justru mulai umur 75 tahun,” kata Sudomo saat ditemui di kediamannya yang sejuk di Pondok Indah, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Bukan tanpa alasan bila penggemar olahraga golf ini berkata demikian. Ia mengakui hampir sebagian besar usianya dilalui dengan perasaan gundah dan gelisah. Salah satu penyebabnya karena sosok yang menghabiskan sebagian besar umurnya yakni 53 tahun di pemerintahan dengan berbagai jabatan sebagai umaro ini pernah murtad. Itu semua menjadi penyebab jauhnya ketenangan dari hidupnya.
”Terus terang saja dan bukan rahasia umum, saya dulu kan murtad. Dan celakanya semua itu saya lakukan tanpa pikir panjang dan memberi tahu orang tua,” lanjutnya.
Wajahnya berubah serius. Seiring waktu, Sudomo pun merindukan ketenangan hati dan kembali pada keyakinannya semula yakni Islam.
”Kasih sayang Allah pada hamba-Nya lebih luas daripada murka-Nya.” Sudomo merasakan betul makna ayat itu.

Di usianya yang ke-75, mantan Pangkopkamtib di era Soeharto justru menemukan ketenangan hidupnya.
”Kalau orang lain berkata hidup dimulai umur 40 tahun, saya justru mulai umur 75 tahun,” kata Sudomo saat ditemui di kediamannya yang sejuk di Pondok Indah, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Bukan tanpa alasan bila penggemar olahraga golf ini berkata demikian. Ia mengakui hampir sebagian besar usianya dilalui dengan perasaan gundah dan gelisah. Salah satu penyebabnya karena sosok yang menghabiskan sebagian besar umurnya yakni 53 tahun di pemerintahan dengan berbagai jabatan sebagai umaro ini pernah murtad. Itu semua menjadi penyebab jauhnya ketenangan dari hidupnya.
”Terus terang saja dan bukan rahasia umum, saya dulu kan murtad. Dan celakanya semua itu saya lakukan tanpa pikir panjang dan memberi tahu orang tua,” lanjutnya.
Wajahnya berubah serius. Seiring waktu, Sudomo pun merindukan ketenangan hati dan kembali pada keyakinannya semula yakni Islam.
”Kasih sayang Allah pada hamba-Nya lebih luas daripada murka-Nya.” Sudomo merasakan betul makna ayat itu.
Waktu membawanya ke kota kelahirannya, Malang. Saat itu, bertepatan 22 Agustus 1997, ia melihat Masjid Al Huda di kompleks Kostrad Malang.
Lantunan adzan yang menenangkan serta jamaah yang bersiap melaksanakan perintah wajib-Nya membuat hatinya tersentuh. Ia merasa telah lama berada dalam kesesatan dan memutuskan untuk kembali ke jalan Allah.
“Itu peristiwa luar biasa. Nama masjid itu sendiri berarti petunjuk. Dan di situ saya mendapat petunjuk. Mungkin ini hikmah dari doa orang tua saya yang selalu berdoa agar saya kembali,” kenang Sudomo yang tampak lebih gemuk karena baru saja keliling Eropa selama sebulan penuh.
Peristiwa itu ibarat sebuah kelahiran bagi dirinya dan anugerah yang luar biasa dari Yang di Atas.
“Saya sangat senang diberi kesempatan bertobat. Bayangkan kalau saya meninggal sebelum bertobat bisa-bisa masuk neraka saya,” ujarnya.
Sebagai rasa syukur, tahun itu juga Sudomo menunaikan umroh pertamanya. Ibadah haji dia lakukan tahun berikutnya. Sampai sekarang sudah lima kali ia berumroh. Tahun ini Sudomo kembali menjadi tamu Allah bersama jutaan umat yang lain.
Ia mengaku punya pengalaman aneh saat menjadi tamu Allah. Peristiwa tersebut dialami saat menunaikan ibadah haji 1998 dan 2002. Ketika thawaf Sudomo ingin berada sedekat mungkin dekat Ka’bah. Ia pun berdoa dan membaca Asmaul Husna. Tiba-tiba ia merasa Ka’bah sangat dekat dengan dirinya.
”Barisan orang yang sedang thawaf seperti terbuka begitu saja sampai-sampai ustadz saya mengikuti dari belakang mendekati Ka’bah. Alhamdulillah, doa di sana memang sangat mustajab,” tutur Sudomo sambil matanya berkaca-kaca.
Kini masa senja Sudomo digunakan untuk mempelajari dan mendalami agama, beribadah, beramal, serta sesekali berdakwah untuk kalangan terbatas. Ia membangun sebuah yayasan, Husnul Khotimah pada tahun 1998 untuk mewadahi semua kegiatan. Sebuah desa kecil di Bogor, Cijayanti, menjadi ladang pertobatannya. Ia mengaku lebih tenang dan bahagia. Shalat lima waktu berjamaah pun selalu tepat waktu dijalankan.
Dengan selera humor yang tak pernah kering. Menurutnya, apa yang ia lakukan kini tak lebih dari sebuah Penanaman Modal Akhirat (PMA). Semua kegiatan itu, menurutnya memberikan kebahagiaan batin yang tidak dapat diukur dengan materi sebanyak apapun.
Sudomo meninggal di Jakarta 18 April 2012 pada umur 85 tahun, ia adalah seorang petinggi militer yang terkenal di masanya karena jabatannya sebagai Pangkopkamtib. Dalam posisi pemerintahan ia pernah menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja pada periode 1983-1988 dan juga sebagai Ketua DPA (1988-1998).
Lantunan adzan yang menenangkan serta jamaah yang bersiap melaksanakan perintah wajib-Nya membuat hatinya tersentuh. Ia merasa telah lama berada dalam kesesatan dan memutuskan untuk kembali ke jalan Allah.
“Itu peristiwa luar biasa. Nama masjid itu sendiri berarti petunjuk. Dan di situ saya mendapat petunjuk. Mungkin ini hikmah dari doa orang tua saya yang selalu berdoa agar saya kembali,” kenang Sudomo yang tampak lebih gemuk karena baru saja keliling Eropa selama sebulan penuh.
Peristiwa itu ibarat sebuah kelahiran bagi dirinya dan anugerah yang luar biasa dari Yang di Atas.
“Saya sangat senang diberi kesempatan bertobat. Bayangkan kalau saya meninggal sebelum bertobat bisa-bisa masuk neraka saya,” ujarnya.
Sebagai rasa syukur, tahun itu juga Sudomo menunaikan umroh pertamanya. Ibadah haji dia lakukan tahun berikutnya. Sampai sekarang sudah lima kali ia berumroh. Tahun ini Sudomo kembali menjadi tamu Allah bersama jutaan umat yang lain.
Ia mengaku punya pengalaman aneh saat menjadi tamu Allah. Peristiwa tersebut dialami saat menunaikan ibadah haji 1998 dan 2002. Ketika thawaf Sudomo ingin berada sedekat mungkin dekat Ka’bah. Ia pun berdoa dan membaca Asmaul Husna. Tiba-tiba ia merasa Ka’bah sangat dekat dengan dirinya.
”Barisan orang yang sedang thawaf seperti terbuka begitu saja sampai-sampai ustadz saya mengikuti dari belakang mendekati Ka’bah. Alhamdulillah, doa di sana memang sangat mustajab,” tutur Sudomo sambil matanya berkaca-kaca.
Kini masa senja Sudomo digunakan untuk mempelajari dan mendalami agama, beribadah, beramal, serta sesekali berdakwah untuk kalangan terbatas. Ia membangun sebuah yayasan, Husnul Khotimah pada tahun 1998 untuk mewadahi semua kegiatan. Sebuah desa kecil di Bogor, Cijayanti, menjadi ladang pertobatannya. Ia mengaku lebih tenang dan bahagia. Shalat lima waktu berjamaah pun selalu tepat waktu dijalankan.
Dengan selera humor yang tak pernah kering. Menurutnya, apa yang ia lakukan kini tak lebih dari sebuah Penanaman Modal Akhirat (PMA). Semua kegiatan itu, menurutnya memberikan kebahagiaan batin yang tidak dapat diukur dengan materi sebanyak apapun.
Sudomo meninggal di Jakarta 18 April 2012 pada umur 85 tahun, ia adalah seorang petinggi militer yang terkenal di masanya karena jabatannya sebagai Pangkopkamtib. Dalam posisi pemerintahan ia pernah menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja pada periode 1983-1988 dan juga sebagai Ketua DPA (1988-1998).