Wasiat Sang Ayah, Warga Aceh Ungkap Surat Utang Pembelian Pesawat RI, Begini Isinya
Monday, March 26, 2018
T Mahdi (44) warga Gampong Baro, Kecamatan Julok, Aceh Timur, masih menyimpan delapan surat obligasi nasional (surat utang negara).
Baca Juga
Sementara ibu T Mahdi atau istri dari almarhum T Nasruddin yaitu Hj Cut Nur Arfah (76) masih hidup dan tinggal di gampong setempat.
T Mahdi mengatakan kedelapan surat itu tiga surat merupakan wasiat milik ayahnya, satu surat milik T Hakim (abang dari T Nasruddin), tiga milik adik T Nasurddin (Tjoet Roehoen A'la), dan satu milik kakeknya (ayah kandung Hj Cut Nur Arfah yaitu T H Bin Gam).
Pada tahun 1946, jelas Mahdi, yang pertama kali yang memberikan pinjaman utang kepada negara yaitu pakwanya (T Hakim) atau abang dari ayahnya.
T Hakim memberikan pinjaman utang kepada negara sebesar satu 50/100 rupiah.
Surat bukti utang (obligasi) yang diberikan negara kepada T Hakim pada bagian atas tengah surat terdapat lambang kapal udara (pesawat) dengan tulisan KOA (Kapal Oedara Atjeh), pada bagian atas kiri dan kanan terdapat pepatah bahasa Aceh, dan bahasa dalam surat ini juga masih menggunakan bahasa campuran antara bahasa Indonesia, dan bahasa belanda.
Begini isi surat tersebut:
Terima dari T Hakim, Son Dj. Tjoet, Gun Idi, oeang banjaknya F 1,50 (satoe 50 / 100 roepiah jaito oeang ripe oentoek pembeli Kapal Oedara Boeat Atjeh. Koetaradja. Surat ini ditandatangani oleh Pengoroes Besar Kapal Oedara Atjeh (KOA), yaitu terdiri dari Bendahara, dan Ketoea.
Surat bukti utang selanjutnya, jelas Mahdi, atas nama ayahnya T Nasruddin, dan adiknya ayahnya Tjoet Roehoen A'la.
Masing-masing mereka memberikan pinjaman, Rp 100. Surat bukti utang yang diberikan negara kepada T Nasruddin, dan Tjoet Roehoen A'la, bahasanya lebih disempurnakan dan disebut dengan jenis utang "Oeang Pindjaman Nasional".
Begini isi surat tersebut.
Tanda Penerimaan Sementara diberikan kepada T Nasruddin atau sipemegang sedjoemlah "SERATOES ROEPIAH" oentoek ditoekarkan dengan soerat pengakoean oetang sebesar itoe dari "Oeang Pindjaman Nasional" 1946 sebesar F 1.000.000.000 jang ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia dengan Oendang2, tanggal 29 April 1946. No 4. Serie CC No. 891117, Terbilang : F 100. Medan tanggal 1 Juni 1946, Goebernoer. Soematera (Mr Teukoe Mohd Hasan).
Sama dengan yang diberikan kepada T Nasruddin, adik T Nasruddin yaitu Tjoet Roehoen A'la, juga memiliki surat tersebut. Hanya nomornya saja yang berbeda yaitu No. 891116.
Selanjutnya, jelas T Mahdi, pada tahun 1950 ayahnya, makwanya (Tjoet Roehoen A'la), dan kakeknya T H Bin Gam, kembali memberikan pinjaman uang kepada negara untuk membeli pesawat, dan dalam surat ini jenis utang disebut dengan “Obligasi Nasional”.
Dalam tahun 1950 itu, jelas Mahdi, ayah, dan makwanya masing-masing dua kali memberikan pinjaman uang sehingga ayah, dan makwanya masing-masing memiliki dua surat obligasi.
Sedangkan kakeknya (TH Bin Gam) juga memberikan pinjaman utang sebesar Rp 200 (dua ratus
Begini isi surat obligasi tersebut:
Tanda Penerimaan Pendaftaraan, Matjam hutang Obligasi Nasional, Djumlah hutang : F 100 (seratus rupiah), Nama jang mendaftarkan T Nasruddin, Tempat tinggal Djulo Djut, Ketjamatan Djulo, Idi 24 8 1950, pemimpin : Bank Negara Rakjat. Ditandatangani Bupati/Kabupaten atau Wedana/Kewedanaan.
"Kalau dibayar Alhamdulillah sekali, saya akan wakafkan ke masjid, dayah, dan kepada almarhum orang tua saya. Dan saya sangat kepingin pergi lagi ke Makkah untuk menunaikan haji,” ungkap Hj Cut Nur Arfah yang mengaku sudah pernah ke haji tahun 1988 lalu.
Sementara itu, T Mahdi, mengatakan sebelum ayahnya T Nasruddin meninggal pernah berpesan agar menyimpan baik-baik surat pengakuan utang yang diberikan negara tersebut.
“Pesan ayah agar menyimpan surat ini, karena suatu saat setelah Indonesia merdeka akan dibayar oleh negara. Tapi hingga saat ini setelah 72 tahun Indonesia merdeka belum dibayar juga,” jelas Mahdi.
Karena itu, ungkap Mahdi, ia mewakili almarhum ayah dan kakeknya yang menerima wasiat tersebut, menagih janji negara untuk membayar hutang tersebut.
Karena mereka telah berjuang dan mengorbankan harta untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
“Selain dibayar, kita harapkan agar persoalan ini dapat meluruskan sejarah Aceh terkait pembelian pesawat tersebut,” harap Mahdi.
Kalau ahli waris menuntut dibayar, tapi lain dengan Fadlan, Fadlan yang merupakan warga Aceh Timur ini meminta pemerintah agar menjelaskan kepada masyarakat tentang sejarah pembelian pesawat “apakah dana pembelian pesawat itu dalam bentuk sumbangan rakyat Aceh, atau sebagai hutang negara terhadap rakyat Aceh".
“Inilah yang kami harapkan agar adanya pembenaran sejarah agar tidak simpang siur. Karena sejak dulu isu yang berkembang bahwa pembelian pesawat itu merupakan sumbangan dari para saudagar-saudagar Aceh. Tapi sekarang banyak muncul obligasi-obligasi, jadi yang benar itu yang mana,” jelas Fadlan.
sumber: Tribunnews